Ajaran Islam menempatkan sholat lima waktu sebagai sebuah ibadah
mahdhoh (ritual) yang memiliki keistimewaan. Rasulullah Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam menerima perintah sholat lima waktu dari
Allah subhaanahu wa ta’aala dengan cara yang juga sangat istimewa.
Allah ta’aala memperjalankan hambaNya dalam suatu malam menempuh
horizontal journey from earh to earth dari masjid Al-Haram di Makkah ke
Masjid Al-Aqsho di Baitul Maqdis (Jerusalem). Selanjutnya Allah
ta’aala perjalankan hambaNya dalam suatu vertical journey from earth to
the heavens in the sky dari Masjid Al-Aqsho di Baitul Maqdis bertemu
langsung dengan Allah ta’aala di langit tertinggi. Lalu pada saat
beraudiensi langsung dengan Allah ’Azza wa Jalla itulah Nabi shollallahu
’alaih wa sallam menerima perintah menegakkan sholat lima waktu setiap
hari.
Sholat merupakan bentuk formal dzikrullah atau
mengingat Allah ta’aala. Bagi seorang muslim betapapun banyaknya
lisannya berzikir dalam pengertian ber-wirid setiap harinya, namun bila
ia tidak menegakkan sholat berarti ia meninggalkan secara sengaja
kewajiban mengingat Allah ta’aala secara resmi sebagaimana
diperintahkan Allah ta’aala dan sesuai contoh Nabi shollallahu ’alaih
wa sallam . Sholat adalah bukti kepatuhan dan loyalitas hamba kepada
Rabbnya. Sholat lima waktu merupakan indikator seorang hamba masih
connect dengan Pencipta, Pemilik, Pemelihara alam semesta. Bila seorang
manusia tidak sholat lima waktu secara disiplin setiap hari berarti ia
merupakan hamba yang disconnected (terputus) dari rahmat Allah
ta’aala. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa
seseorang bakal celaka walaupun ia sholat. Sebab ia lalai menjalankan
sholatnya sehingga tidak selalu disiplin lima waktu setiap harinya.
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS Al-Maa’uun ayat 4-5)
Di
antara alasan utama seorang muslim lalai menegakkan sholat lima waktu
setiap hari -apalagi berjama’ah di masjid- adalah karena dihinggapi
penyakit malas beribadah. Padahal kemalasan beribadah -khususnya sholat
lima waktu- langsung mengindikasikan kelemahan komitmen dan kepatuhan
muslim kepada Allah ta’aala. Bahkan sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa di zaman para sahabat radhiyallahu
’anhum hidup bersama Nabi shollallahu ’alaih wa sallam jika ada muslm
yang tidak sholat berjama’ah di masjid berarti ia diasumsikan sebagai
seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya.
Maka
dalam rangka mengikis penyakit malas beribadah seorang Muslim perlu
juga memahami apa manfaat sholat lima waktu setiap hari. Di antaranya
ialah dihapuskannya dosa-dosa oleh Allah ta’aala. Subhaanallah...!
Bayangkan, setiap seorang muslim selesai mengerjakan sholat yang lima
waktu berarti ia baru saja membersihkan dirinya dari tumpukan dosa yang
sadar tidak sadar telah dikerjakannya antara sholat yang baru ia
kerjakan dengan sholat terakhir yang ia ia kerjakan sebelumnya.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى
الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ
إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sholat
lima waktu dan (sholat) Jum’at ke (sholat) Jum’at serta dari Ramadhan
ke Ramadhan semua itu menjadi penghabus (dosanya) antara keduanya
selama ia tidak terlibat dosa besar.” (HR Muslim 2/23)
Bila
seorang muslim memahami dan meyakini kebenaran hadits di atas, niscaya
ia tidak akan membiarkan satu kalipun sholat lima waktunya
terlewatkan. Bahkan dalam hadits yang lain dikatakan bahwa bila seorang
muslim khusyu dalam sholatnya, maka ia akan diampuni segenap dosanya
di masa lalu. Subhaanallah...!
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا
وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ
مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Tidak
seorangpun yang bilamana tiba waktu sholat fardhu lalu ia membaguskan
wudhunya, khusyu’nya, rukuknya, melainkan sholatnya menjadi penebus
dosa-dosanya yang telah lampau, selagi ia tidak mengerjakan dosa yang
besar. Dan yang demikian itu berlaku untuk seterusnya.” (HR Muslim 2/13)
Syaratnya
asalkan ia tidak terlibat dalam dosa besar, maka dosa-dosa masa
lalunya pasti bakal diampuni Allah ta’aala. Adapun di antara dosa-dosa
besar ialah sebagaimana disebutkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa
sallam, yakni:
ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَبَائِرَ أَوْ سُئِلَ عَنْ الْكَبَائِرِ فَقَالَ
الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَالَ
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالَ قَوْلُ الزُّورِ أَوْ
قَالَ شَهَادَةُ الزُّورِ
Ketika ditanya mengenai dosa-dosa besar Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Mempersekutukan Allah ta’aala, membunuh jiwa serta durhaka kepada
kedua orang-tua. Dan maukah kalian kuberitakan mengenai dosa besar yang
paling besar? Yaitu kesaksian palsu.” (HR Muslim 1/243)
Untuk
menghapus dosa-dosa besar tersebut tidak cukup dengan seseorang
menegakkan sholat lima waktu. Ia harus menempuh prosedur taubatan
nasuha yang khusus. Maka hindarilah sedapat mungkin terlibat dalam
mengerjakan dosa-dosa besar. Dalam bahasa berbeda Nabi shollallahu
’alaih wa sallam mengingatkan kita agar menjauhi tujuh penyebab
bencana, yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh penyebab bencana.” Para sahabat radhiyallahu ’anhum bertanya: “Apa itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda:
“Mempersekutukan Allah ta’aala, Sihir, Membunuh jiwa yang Allah ta’aala
haramkan membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, Memakan harta
anak yatim, Memakan riba, Desersi dari medan jihad, Menuduh wanita
mu’minah yang memelihara diri sebagai melakukan perbuatan keji.” (HR Muslim 1/244)
Senin, 30 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar